Batam
Pos
Minggu,
13 Januari 2008
Tiga Surat
Cinta untuk Bunga
Cerpen: Heru Kurniawan
1.
Selama sebulan ini, sejak kisah cinta kita putus, aku sudah menulis surat cinta untukmu sebanyak tiga buah. Isinya sama, tentang cinta yang sia-sia. Namun, surat-surat ini tak akan kuberikan padamu. Cukup kutulis saja tentang perasaanku. Selanjutnya surat-surat ini akan kubuang. Aku hanya berharap suatu saat ada orang yang menemukan kemudian ia membaca dan membuangnya kembali. Sampai berkali-kali. Sampai surat-suratku tak terbaca dan menyatu dengan bumi. Kalau ini terjadi, bagiku sudah cukup aku bermimpi kita bisa bersatu kembali.
Selama sebulan ini, sejak kisah cinta kita putus, aku sudah menulis surat cinta untukmu sebanyak tiga buah. Isinya sama, tentang cinta yang sia-sia. Namun, surat-surat ini tak akan kuberikan padamu. Cukup kutulis saja tentang perasaanku. Selanjutnya surat-surat ini akan kubuang. Aku hanya berharap suatu saat ada orang yang menemukan kemudian ia membaca dan membuangnya kembali. Sampai berkali-kali. Sampai surat-suratku tak terbaca dan menyatu dengan bumi. Kalau ini terjadi, bagiku sudah cukup aku bermimpi kita bisa bersatu kembali.
Saat aku tulis surat yang pertama, aku niati bahwa aku akan
melakukan sandiwara untuk diriku. Maka aku memutusmu. Aku katakan padamu; Aku sudah
tidak mencintaimu lagi, Bunga. Kau telah layu setelah setiap malam percintaan
kita selalu diakhiri dengan basah rambut. Aku sudah cukup menikmatimu. Kau
sudah cukup basah. Aku ingin yang kering seperti saat pertama kau kubuat
menangis, meratapi kejadian yang tak pernah kau alami.
Surat yang pertama
selanjutnya kutaruh di bangku reot, tempat di mana pertama kali kau menatapku
dengan penuh kebencian. Aku ingat, saat itu airmatamu jatuh menimpa bangku reot
itu. Bangku tua yang tersudut di taman alun-alun kota. Saat kutaruh surat Ini aku membayangkan
orang yang menemukan suratku adalah anak-anak yang tengah mengisi hari sorenya
dengan ibunya. Saat anak itu menemukan surat ini ia pasti akan bergembira,
mengharap apa yang terisi di dalam amplop putih itu adalah uang. Anak itu akan
berteriak, "Aku menemukan uang".
Ibunya akan merebut sambil
berbohong, "Kau masih tidak boleh membuka amplop itu. Amplop ini isinya
surat, bukan uang" Dengan cemberut anak itu menyerahkan apa yang baru ditemukannya.
"Isinya surat apa,
Bu?" anak itu bertanya setelah ibunya selesai membuka dan membaca suratku
ini.
"Cinta"
"Apa itu cinta, Bu?"
"Kau belum boleh tahu,
Nak."
"Kalau begitu apakah boleh
aku minta kertas-kertas yang isinya cinta itu, Bu!"
"Untuk apa?"
"Membuat pesawat kertas
untuk mainan."
"Bagus itu, biar Ibu yang
membuatkan."
Jadilah tulisan-tulisan cintaku
menghias sayap, tubuh, dan kepala pesawat kertas mainan itu. Pesawat kertaS itu
di lempar ke sana-ke sini, terbang kian-kemari, sampai akhirnya terdampar di
ranting pohon beringin.
"Sudah mari kita pulang,
Nak. Memang pantas nasib pesawat kertas itu di sana. Biar hancur oleh hujan."
Aku terhenyak mengembangkan
lamunanku. Betapa sia-sia aku menulis surat
cinta untukmu, Bunga. Ternyata perasaan cintaku tak bisa menaklukan orang lain.
Padahal jelas, dalam surat
yang pertama aku juga menulis alasanku untuk meninggalkanmu; Aku tak kuasa
percintaan kita dilanjutkan. Kita ditakdirkan saudara, Bunga. Ayahmu ayahku
juga. Lelaki bejat yang setelah menitipkan bibitnya kemudian pergi menghilang.
Aku kaget saat mendapati foto ayahmu yang tak sengaja kau simpan di buku
harianmu. Lelaki dalam foto itu sama dengan lelaki dalam foto keluargaku. Tapi
entah di mana dia sekarang. Setelah aku menginjak bangku SD lelaki itu
menghilang. Beruntung kau belum pernah berkunjung ke rumahku yang terpencil.
Aku berharap, Bunga, semoga kau sampai saat ini belum mengetahui rahasia ini.
Seandainya kau tahu, pasti kau tidak akan memaafkan dirimu sendiri. Sama
seperti diriku saat ini, ingin sekali membunuh lelaki itu. Dan bila melihat
diriku di cermin, rasanya aku ingin juga membunuh diriku sendiri.
2.
Bunga, pada suratku yang kedua, aku kisahkan hidupku setelah kita berpisah. Hidupku terasa telah mati. Aku selalu membayangkan di dunia yang kedua kita tak juga bisa untuk bersatu kembali. Padahal kita telah berjanji, bila di dunia kita tak bersatu, kita berkeyakinan di alam baka bisa terus bertemu. Bunga, kau akan hidup di surga, sedangkan aku di neraka. Ini karena kau tak mengerti dengan apa yang telah aku lakukan padamu. Kau tak berdosa dengan persetubuhan kita. Kau melakukannya dengan rela, sedangkan aku memaksa. Kau atas nama cinta, sedangkan aku atas nama birahi membara. Tapi, kau harus tahu, birahi dan cinta bagi lelaki hampir tak ada bedanya.
Bunga, pada suratku yang kedua, aku kisahkan hidupku setelah kita berpisah. Hidupku terasa telah mati. Aku selalu membayangkan di dunia yang kedua kita tak juga bisa untuk bersatu kembali. Padahal kita telah berjanji, bila di dunia kita tak bersatu, kita berkeyakinan di alam baka bisa terus bertemu. Bunga, kau akan hidup di surga, sedangkan aku di neraka. Ini karena kau tak mengerti dengan apa yang telah aku lakukan padamu. Kau tak berdosa dengan persetubuhan kita. Kau melakukannya dengan rela, sedangkan aku memaksa. Kau atas nama cinta, sedangkan aku atas nama birahi membara. Tapi, kau harus tahu, birahi dan cinta bagi lelaki hampir tak ada bedanya.
Setelah surat yang kedua ini kumasukan dalam amplop
putih dan kutulis buat Bunga, sama seperti surat pertama. Tapi, pada suratku yang kedua
aku sengaja memesang foto kita, sedangkan yang pertama tidak. Aku letakan surat itu di bawah pohon
randu yang tinggi, rindang, dan menjulang. Ini tempat kenangan kita. Di tempat
ini aku pertama merayumu, memujamu, sampai timbul hasratku untuk memperkosamu.
Dan hampir saja terjadi, untunglah, ulah anak kecil yang suka iseng mengintip
itu mengagetkan hasratku. Tapi, di tempat ini aku nyata merasakan dan
menyaksikan keindahan tubuhmu. Aku tak akan melupakan itu, Bunga. Ternyata
keindahan tubuh perempuan yang dicintai itu 1000 kali indahnya dari tubuh
perempuan yang kadang kusaksikan dalam film porno. Pantas saja, berawal dari
nonton film porno, anak-anak remaja akhirnya memperkosa pacarnya. Padahal
mereka baru anak-anak SMA. Apalagi aku padamu, Bunga. Bisa kau bayangkan betapa
bernafsunya aku pada tubuhmu yang seksi menarik itu.
Setelah aku letakan surat ini di bawah pohon
randu, aku membayangkan anak kecil yang pernah menggagalkan niatku untuk
memperkosamu akan menemukan surat
ini.
"Ada surat, Kak," anak kecil itu berteriak pada kakaknya.
"Ada surat, Kak," anak kecil itu berteriak pada kakaknya.
"Sini, biar aku yang
membuka, kamu masih kecil tidak boleh membaca surat."
"Memangnya itu surat apa,
Kak?"
"Ini pasti surat
cinta."
"Surat cinta itu apa,
Kak."
Lelaki berusia belasan tahun itu
tak membalas pertanyaan adiknya. Ia membaca dengan cermat surat itu.
"Isinya apa, Kak?"
"Kau belum boleh
mengerti."
"Tapi, itu foto siapa,
Kak?"
"Kakak tidak tahu, apa kau
mengenal orang ini."Anak kecil itu mengerutkan keningnya.
"Apakah kau
mengenalnya?"
"Aku pernah melihatnya di
bawah pohon ini, Kak. Tapi, aku tidak tahu mereka itu siapa."
"Itu namanya kamu tidak mengenal, Bloon."Anak kecil itu nyengir dihina kakaknya. "Ayo kita lanjutkan perjalanan mencari kambing-kambing kita."
"Itu namanya kamu tidak mengenal, Bloon."Anak kecil itu nyengir dihina kakaknya. "Ayo kita lanjutkan perjalanan mencari kambing-kambing kita."
"Tapi, Kak. Boleh aku
menjadikan surat
ini sebagai perahu kertas."
Diberikannya surat itu pada
adiknya. Kemudian anak kecil itu secepat kilat melipat-lipat kertas itu menjadi
perahu. Dilabuhkannya perahu kertas itu beserta foto sepasang kekasih itu pada
sungai yang deras mengalir.
"Hore…, perahunya melaju
cepat," anak kecil itu berteriak girang tentunya.
Tapi, tidak berapa lama kemudian perahu kertas itu hanyut dan tenggelam terbawa arus.
"Kak, perahunya hanyut tenggelam. Kenapa, ya?"
Tapi, tidak berapa lama kemudian perahu kertas itu hanyut dan tenggelam terbawa arus.
"Kak, perahunya hanyut tenggelam. Kenapa, ya?"
Pertanyaan anak kecil itu
seakan-akan nyata dan mengagetkan lamunanku. Ah, Bunga, betapa nasib percintaan
kita ditakdirkan hancur. Terus apa yang masih kutunggu darimu, Bunga. Aku tahu
kalau kita sudah tidak bisa bersatu, tapi kenapa aku masih berharap keajaiban.
Terkadang masih ada hasratku untuk menolak kenyataan. Saat itu anganku akan
menghadirkanmu yang tiba-tiba datang dan mengatakan padaku, "Apa yang
terjadi pada kita bukan takdir, Raka. Kita memang saudara, tapi cinta tak
menghendaki persaudaraan kita. Haruskah kita menanggung salah dari lelaki yang
telah jadi ayah kita! Tidak, Raka. Cinta kita lebih berharga dari bapak kita.
Lebih mulia dari norma dan agama. Kau tahu itu, Raka… "
Tidak!!! Aku berteriak keras
memecahkan malam yang mulai menjaring bumi. Aku tidak bisa, Bunga. Aku hanya
akan memberimu doa, semoga kau tidak akan tahu dengan rahasia ini. Aku lebih
baik dibenci olehmu daripada kau tahu rahasia kita yang pilu dan menjijikan.
Dalam tidur malam ini aku dihantui oleh pesawat dan perahu kertas yang nasib naas. Terdampar dan hanyut yang berujung pada kehancuran yang diakibatkan oleh ulah anak kecil. Ini memupus impianku tentang suratku yang kuharap akan dibaca banyak orang. Aku berharap pada suratku yang ketiga bayanganku bisa indah, surat terakhirku paling tidak akan berharga bagi orang yang menemukannya.
Dalam tidur malam ini aku dihantui oleh pesawat dan perahu kertas yang nasib naas. Terdampar dan hanyut yang berujung pada kehancuran yang diakibatkan oleh ulah anak kecil. Ini memupus impianku tentang suratku yang kuharap akan dibaca banyak orang. Aku berharap pada suratku yang ketiga bayanganku bisa indah, surat terakhirku paling tidak akan berharga bagi orang yang menemukannya.
3.
Pada suratku yang ketiga ini, aku menuliskan keputusanku yang bulat; Aku akan pergi jauh, Bunga. Aku sudah tidak sanggup lagi dihantui oleh perasaan terluka seperti ini. Selamat jalan, Bunga.
Pada suratku yang ketiga ini, aku menuliskan keputusanku yang bulat; Aku akan pergi jauh, Bunga. Aku sudah tidak sanggup lagi dihantui oleh perasaan terluka seperti ini. Selamat jalan, Bunga.
Kau ingat tempat pertama kali
kita bertemu, Bunga, sebuah halte yang saat langit mengurai airnya lewat hujan,
kau dan aku sama sedang menunggu Bus Kota. Tapi dasar negeri kita amburadul,
demo berkali-kali terjadi. Dan hari ini giliran para supir protes dengan
kenaikan BBM yang ingin diikuti kenaikan tarif. Ah, celaka kita akibatnya,
tersudut di halte dengan di kepung hujan yang amat deras. Hujan pertama yang
menakhiri musim kemarau.
"Maaf, di rambut Nona ada
kotorannya, boleh kuambil," kataku. Kau diam menyilahkan, dan
aku mengambil kotoran itu. Sejak saat itu kita terlibat pembicaraan yang sengit
dan jadi kita sering buat janjian di halte ini. Sampai kita sepakat untuk
menjalin percintaan.
Bunga, suratku yang terakhir
untukmu akan aku letakan di kursi halte yang telah menjadi saksi perjumpaan
kita. Aku membayangkan kalau suratku yang terakhir ini akan ditemukan seorang
pemulung. Oleh pemulung itu suratku akan disimpan karena sepanjang hidupnya ia
baru menemukan kertas yang indah dengan tulisan yang indah. Ah, aku akan
senang. Betapa ternyata ada yang terselamatkan dari miliku yang paling
berharga. Surat
cinta untukmu, Bunga.
"Kenapa kau tidak membuka
surat itu, Pemulung? Bisa saja isinya uang kan," kawan si anak pemulung mempotes.
"Tidak. Aku yakin surat ini isinya soal
cinta. Dan kata guruku, cinta itu berharga, lebih berharga dari dunia, maka aku
harus menjaganya.""Siapa gurumu itu pemulung?"
"Guruku sangat cantik, ia
Ibu guru yang tengah gagal soal cinta.""Harusnya kamu tak usah peduli
kata-katanya.""Tapi itu benar, karena aku juga sekarang tengah
mengenal cinta"
"Dasar edan."
"Dasar edan."
Bunga, aku tak bisa membayangkan
percakapan si pemulung itu. Aku takut kalau Ibu gurunya yang cantik adalah
kamu. Bukankah kau pernah bercerita padaku bahwa cita-cita tertinggimu adalah
menjadi guru untuk para anak-anak terlantar.
4.
Pada suatu pagi sebuah surat kuterima dari tukang pos. Itu surat darimu, Bunga. Dalam suratmu yang singkat kau menulis, "Kenapa kau memperlakukanku seperti ini. Aku membencimu sepenuh hati?" Terimakasih, Bunga. Aku sungguh bahagia dengan suratmu. Semoga kau selamanya tidak akan tahu dengan rahasia ini. Hari ini aku akan bunuh diri.
Selamat jalan, Bunga…***
Pada suatu pagi sebuah surat kuterima dari tukang pos. Itu surat darimu, Bunga. Dalam suratmu yang singkat kau menulis, "Kenapa kau memperlakukanku seperti ini. Aku membencimu sepenuh hati?" Terimakasih, Bunga. Aku sungguh bahagia dengan suratmu. Semoga kau selamanya tidak akan tahu dengan rahasia ini. Hari ini aku akan bunuh diri.
Selamat jalan, Bunga…***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar