Senin, 17 Desember 2012

Anda ingin mendapatkan KALDIK 2012/2013. Bila Anda butuh dapat diunduh
di :SINI

CERPEN KUMPULAN KOMPAS


Kursi Empuk di Dada Sumarti
Cerpen: Pamusuk Eneste

Ketika kaum kerabat, handai tolan, kenalan, dan tetangga satu per satu meninggalkan rumah duka, tahulah Sumarti bahwa ia akan sendirian. Sumarti akan menjalani sisa hidupnya seorang diri. Ditemani pembantu rumah tangga, tukang kebun, dan penjaga malam. Itu pun sepanjang Sumarti mampu membayar mereka setiap bulan.

Sesekali putri, menantu, dan cucunya akan datang berkunjung.

"Nuwun sewu…," terdengar suara pembantu Sumarti.

Sumarti menoleh.

"Makan malam sudah siap, Nyonya."

"Ya, sebentar. Saya mandi dulu."

Sumarti menuju kamar mandi. Ingin mengguyur badannya yang sedari tadi terasa gerah dan berkeringat. Mumpung malam belum larut.

Sumarti mulai memereteli baju luarnya yang berwarna hitam. Tatkala sampai pada penutup dada, Sumarti terkesiap. Ternyata secarik kertas bertengger di dadanya. Bagusnya kursi empuk itu….

Lha, kursi empuk? Kursi empuk mana? Yang di kantor atau yang di rumah? Di rumah Sumarti banyak kursi empuk. Ada di ruang baca. Ada di ruang tamu. Ada di ruang makan. Belum lagi di teras depan dan teras belakang. Kalau kursi empuk di kantor, bagaimana pula prosedurnya? Bagaimana mungkin kursi parlemen dibeli? Oalah…!

Serampung mandi malam, Sumarti ingin sekali menelepon seseorang. Sekadar berbagi rasa. Sumarti ingin menceritakan keinginan almarhum yang tercantum dalam wasiat itu.

Sumarti bergegas ke tempat telepon di ruang keluarga. Di tempat telepon itu Sumarti bergeming. Hendak diraihnya gagang telepon, tetapi tangannya serasa diikat. Sumarti pikir, kalau ia menelepon orang itu, mungkin kabar itu akan menyebar ke mana-mana bak air bah dari gunung.

Sumarti pindah ke sofa. Ditimang-timangnya kertas kecil yang berasal dari dadanya itu. Ia kenal betul tulisan itu. Itu pasti goresan serta tanda tangan almarhum suaminya. Bagusnya kursi empuk itu dimasukkan ke dalam tanah….

Sumarti menyandarkan bahunya di sofa. Ditatapnya tulisan tangan almarhum dalam-dalam. Ia paham maksudnya, namun tak tahu cara mewujudkannya.

Ada satu hal yang mengherankan Sumarti. Kenapa secarik kertas itu baru diketahuinya ketika acara penguburan telah usai? Kenapa wasiat itu baru ditemukan Sumarti setelah kembali dari pemakaman, padahal almarhum ingin, surat ini dibaca begitu aku mengembuskan napas terakhir, jangan setelah aku di dalam tanah?

Sumarti menjadi serba salah. Ia merasa kesiangan membaca pesan almarhum. Ia baru memergoki wasiat almarhum setelah kaum kerabat, handai tolan, dan kedua putrinya serta kedua menantunya kembali ke rumah masing-masing.

Duh, Gusti!

Kepala Sumarti serasa mau pecah.

Sumarti ingin mengabari kaum kerabatnya. Ingin memberi tahu mereka perihal permintaan almarhum. Lantas ingin mendengar nasihat mereka.

Sumarti mendekati telepon yang ada di meja kecil. Dia raih gagang telepon, namun Sumarti terpana sejenak. Bukankah ia akan dibilang bodoh kalau mengungkapkan keteledorannya pada kaum kerabat? Bukankah kaum kerabat akan menertawakan kealpaannya?

Sumarti bimbang. Dijauhinya telepon dan kembali ke sofa.

Sumarti merasa pusing tujuh keliling. Mestinya dari tadi dia menemukan wasiat itu dan membicarakannya dengan kaum kerabat, ketika belum berlangsung upacara penguburan. Kini semua orang sudah berlalu. Memang Sumarti sering mengamini kata orang bijak, lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali. Namun, Sumarti pun sadar, mengumpulkan kaum kerabat, handai tolan, dan keluarga dekat bukanlah sekadar membalik telapak tangan.

Sumarti melonjorkan kakinya. Sumarti mengatupkan matanya sembari menyesali diri. Ia coba melupakan wasiat itu, tetapi yang muncul adalah wajah almarhum. Kalau bisa, kursi empukku ditaruh di samping jasadku.

Setahu Sumarti, surat wasiat lazimnya berisi pembagian harta untuk orang yang masih hidup. Ini malah mengenai kursi empuk segala yang harus dibawa ke dalam kubur. Namun, Sumarti terpaksa mengurut dada karena yang menulis surat wasiat adalah almarhum suaminya.

Sumarti ingin menghubungi kedua putrinya. Siapa tahu mereka bisa berbagi rasa. Sumarti yakin, anak-anaknya pasti akan menolongnya. Paling tidak meringankan bebannya.

Meski Endang Setianingrum dan Esti Setianingsih sudah membelikan telepon genggam, Sumarti tak pernah mau menggunakannya. Kedua telgam itu hanya menjadi penghuni lemari Sumarti. "Ibu kuno," kata kedua putrinya.

Sumarti tak sakit hati dicap kuno. Bagi Sumarti lebih sreg menerima dan menelepon secara tradisional. Tidak perlu beli pulsa. "Boros," katanya, "mendingan uangnya aku tabung." Jadilah Sumarti tetap lebih asyik dengan telepon-rumah. Sumarti tetaplah "orang kuno", menurut istilah kedua putrinya. "Lagi pula, aku tak mau diganggu telepon genggam pada waktu tidur," kata Sumarti.

Sumarti kembali mendekati telepon-rumah. Sumarti ingin menelepon putri sulungnya, Endang Setianingrum. Ingin menceritakan permintaan terakhir almarhum, lantas apa yang harus diperbuat. Diraihnya gagang telepon, namun ditaruhnya kembali. Jangan-jangan putrinya malah mencecarnya dengan macam-macam pertanyaan. "Kok Ibu baru menemukannya sekarang? Kok tidak dari tadi menemukan wasiat Bapak itu? Kok Ibu tidak dari tadi-tadi menyadari adanya wasiat itu?" Sejumlah kok lainnya pun meluncur dari mulut putri sulungnya.

Sumarti tak mau disalahkan. Sebaliknya, Sumarti justru mengharapkan dukungan dari orang-orang terdekat.

>diaC<

Sumarti mengurungkan niatnya dan kembali bernadra di sofa.

Kemudian terpikir oleh Sumarti mengontak putri bungsunya, Esti Setianingsih. Putri keduanya ini mungkin bisa memberi jalan keluar. Sumarti tahu watak putrinya ini. Tidak seketus kakaknya, Endang Setianingrum. Didekatinya kembali telepon. Diraihnya gagang telepon. Diputarnya nomor Esti Setianingsih. Ketika tinggal satu angka lagi, Sumarti serta-merta bergeming. Sayup-sayup, ia mendengar suara putri bungsunya di seberang sana. "Lha, kok Ibu baru tahu wasiat Bapak sekarang. Piye toh, Bu? Piye? Oalah, Ibu ….Ibu." Bla… bla… bla….

Sumarti pusing mendengarnya. Ditaruhnya gagang telepon.

Sumarti kembali ke sofa. Ia tak mau jadi bulan-bulanan putri bungsunya. Lebih baik tak mengabari dia daripada mendengar kata-kata tak senonoh.

Tebersit pula di benak Sumarti untuk mendiamkan wasiat almarhum itu. Tak perlu memberitahukannya kepada siapa pun, termasuk kaum kerabat. Tak perlu menyampaikannya kepada kedua putri dan kedua menantunya. Toh yang tahu cuma aku dan… Tuhan!

Entah kenapa, Sumarti merasa tak enak. Sumarti khawatir terjadi apa-apa pada dirinya. Sumarti pernah mendengar kerabatnya berkata, "Kalau kita tak turuti permintaan orang meninggal, rohnya akan mengikuti kita terus ke mana pun kita pergi."

Sumarti tak mau diikuti roh suaminya. Sumarti ingin hidup normal. Tak ingin diganggu siapa pun. Sumarti ingin hidup dengan tenang, setenang kehidupan di desanya sebelum ia bertolak ke Jakarta. Tak mengherankan, kebiasaan-kebiasaan dari desa masih terbawa-bawa hingga ke kota metropolis. Salah satu kebiasaan itu adalah menyelitkan sesuatu di dadanya. "Biar tak lupa," kata Sumarti mengenai kebiasaan itu. "Biar tak diambil orang."

Sumarti lupa, kapan wasiat itu disisipkan ke dadanya. Ajaibnya, Sumarti pun tak ingat siapa yang menyelipkan ke dadanya: dia sendiri atau almarhum? Setelah usianya berkepala lima, Sumarti memang menjadi pelupa. Ia pernah mencari kacamatanya, padahal kacamata itu bertengger di kepalanya. Ia pun pernah mencari-cari kunci lemari, padahal kunci itu sedang dipegangnya. Tidak tertutup kemungkinan, almarhumlah yang menyelipkan wasiat itu ke dadanya dalam perjalanan ke rumah sakit—saat almarhum merasa sesak napas dan dadanya sakit? Atau siapa tahu, ketika sedang sekarat di rumah sakit, suaminya lantas buru-buru menyisipkan kertas itu ke dada Sumarti.

Tak ingat Sumarti sama sekali.

Sumarti hanya ingat, sejenak sebelum sekarat, almarhum merangkulnya sekelebatan. Sumarti lupa-lupa ingat, apakah almarhum menyelitkan sesuatu atau tidak ke dadanya. Setelah itu, suami tercintanya pun kaku dan rebah di pangkuannya.

Singgah juga pikiran buruk di kepala Sumarti. Sumarti ingin merobek-robek wasiat almarhum dan mencampakkannya ke tempat sampah. Atau membakarnya sekalian agar tak berbekas. Toh tak ada yang tahu. Namun, Sumarti ketir-ketir juga. Kenalannya pernah berkata, "Tak baik menolak permintaan orang yang sudah mati, nanti hidup kita tak tenang."

"Nuwun sewu…," suara pembantu Sumarti terdengar dari arah belakang.

"Makan malamnya tambah dingin, Nyonya."

Sumarti menoleh ke belakang.

"Ya, ya, saya akan makan…."

Malam pun kian merambat di ruang keluarga Sumarti.***

Jumat, 30 November 2012

PARABEL



Contoh Parabel
Secawan Air Putih
Khalifah Harun Al Rasuid seorang kepala negara yang terkenal bijaksana.Ia mempunyai sejumlah ulama yang diangkat sebagai penasihatnya.Segala kebijaksanaan pemerintahannya selalu dimusyawarahkan lebih dahulu dengan para ulama itu.
Pada suatu hari, Khalifah berbincang dengan seorang ulama penasihatnya.
“Guru, berilah saya nasihat bijaksana hari ini,” pintanya kepada ulama itu.
Sang ulama diam sejenak,Telah banyak nasihat diberikan kepada Khalifah yang bijaksana ini.Sekarang nasihat apa lagi yang akan diberikan ?
“Tuan Khalifah, berilah saya secawan air putih,” kata ulama itu setelah diam sesaat.”Lalu peganglah secawan air juga.”
Khalifah memerintahkan pelayan untuk mengambil dua cawan air putih.Secawan diberikan kepada ulama itu, secawan lagi dipegang oleh Khalifah.
“Umpama Tuan Khalifah berada di padang pasir yang gersang dan Tuan sangat kehausan,”kata ulama.”Tuan akan mati kehausan di sana.Lalu datang seseorang menyediakan secawan air putih untuk Tuan dengan bayaran yang sangat mahal.Den gan tebusan apa Tuan akan membayar secawan air yang ditawarakan itu?”
“Dalam keadaan sangat gawat, separuh kerajaan pun akan saya serahkan untuk menukar secawan air itu,” kata Khalifah tanpa pkir panjang lagi.
“Baiklah.Tuan memang orang yang jujur.Mari kita minum air ini.”Ulama dan Khalifah meminum air dalam cawan itu.
“Sekarang air putih itu sudah tuan minum sampai habis.” Kata ulama itu kepada Khalifah.”Seandainya air itu tidak bisa keluar dari tubuh Tuan sampai berhari-hari lamanya, berapa Tuan berani membayar untuk mengeluarkannya ?”
“Akan kuserahkan separuh negaraku yang tersisa untuk membayarnya ,”jawab Khalifah pula.
Ulama itu mengangguk –angguk.
“Camkanlah jawaban Tuan tadi,’katanya,”Ternyata harga kerajaan Tuan tidak lebih dari secawan air putih. Itulah kekayaan manusia dibandingkan kekayaan Tuhan.Hanya itu nasihat saya hari ini.”
Khalifah Harun Alrasyid termenung memikirkan naseihat itu. Memang benar kekayaan Allah tidak terbatas.Secawan air putih itu adalah kekayaan Allah. Harganya sangat mahal, sampai-sampai seharga satu kerajaan milik manusia.
Sumber :  internet

Minggu, 18 November 2012

KURIKULUM


APA YANG BERBEDA DARI KURIKULUM BARU 2013?

Kemendikbud, melalui Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Bapak Muhammad Nuh bersama staff ahlinya menerbitkan kurikulum baru 2013. Apa yang membedakan dengan kurikulum KTSP atau kurikulum 2006? Berikut adalah beberapa perubahan yang dilakukan. Beberapa perubahan itu meliputi
1.    Mata Pelajaran yang diajarkan
  • Mapel IPA dan IPS di SD akan ditiadakan dan terintegrasi dalam tema-tema di mapel yang lain.
  • Model pendidikan di SD adalah integral tematik yang berfokus pada mata pelajaran : Agama, PPKn, Matematika, Bahasa Indonesia, Olahraga-Kesehatan, dan Seni Budaya
  • Mapel di tingkat SMP akan disusutkan dari 12 mapel hanya menjadi 10 mapel yaitu : Agama, PPKn, Bahasa Indonesia, Matematika, Bahasa Inggris, IPA, IPS, Olahraga-Kesehatan, Seni Budaya dan Prakarya
  • Mapel TIK di SMP akan ditiadakan, TIK akan menjadi media pembelajaran semua mapel sehingga komputer tidak diajarkan secara terpisah
Dengan demikian dalam kurikulum yang baru akan banyak mengurangi mata pelajaran bagi siswa. Sehingga, di SD hanya akan ada enam mata pelajaran, SMP sebanyak sepuluh mata pelajaran.

A.Nama mata pelajaran SD meliputi
      1.     Agama,
      2.     PPKn,
      3.     Bahasa Indonesia,
      4.     Matematika,
      5.     Olahraga. dan
      6.     Seni Budaya.

B.Nama Mata pelajaran SMP meliputi
      1.    Agama,
      2.    PPKn,
      3.    Bahasa Indonesia,
      4.    Matematika,
      5.    Bahasa Inggris,
      6.    Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS),
      7.    Ilmu Pengetahuan Alam (IPA),
      8.    Olahraga,
      9.    Seni Budaya, dan
      10.  Prakarya.

2.    Kurikulum berbasis sains
3. Kompetensi yang ingin dicapai adalah kompetensi yang berimbang antara sikap, keterampilan, dan pengetahuan, disamping cara pembelajarannya yang holistik dan menyenangkan.
4.    Proses pembelajaran menekankan aspek kognitif, afektif, psikomotorik melalui penilaian berbasis tes dan portofolio saling melengkapi.
5.      Alokasi waktu per jam pelajaran
  • SD = 35 menit
  • SMP = 40 menit
  • SMA = 45 menit
6. Banyak jam pelajaran per minggu
  • SD: Kelas I = 30 jam, kelas II= 32 jam, kelas III=34 jam, kelas IV, V,VI=36 jam
  • SMP = 38 jam
  • SMA = 39 jam
Sumber : Dilah dari berbagai sumber

Selasa, 30 Oktober 2012


Salah satu artikel buatan siswa yang membicarakan masalah pemanasan global atau Global Warming dapat Anda lihat dalam tulisan ini. Anda tertarik untuk membacanya.....

Silakan Download : Di Sini

Minggu, 28 Oktober 2012

DONGENG


Arti Sebuah Persahabatan

Pada dahulu kala hiduplah seekor kura-kura dan seekor burung elang. Walaupun sang kura-kura dan elang jarang bertemu karena sang kura-kura lebih banyak menghabiskan waktu disemak-semak sedangkan sang elang lebih banyak terbang, namun tidak menghalangi sang elang untuk selalu mengunjungi teman kecilnya yang baik hati, sang kura-kura.

Keluarga sang kura-kura sangat ramah dan selalu menyambut kedatangan sang elang dengan gembira. Mereka juga selalu memberi sang elang makanan dengan sangat royalnya. Sehingga sang elang selalu berkali-kali datang karena makanan gratis dari keluarga kura-kura tersebut. Setiap kali sehabis makan dari keluarga kura-kura sang elang selalu menertawakan sang kura-kura : "ha ha betapa bodohnya si kura-kura, aku dapat merasakan kenikmatan dari makanan yang selalu dia berikan, namun tidak mungkin dia dapat merasakan nikmatnya makananku karena sarangku yang terletak jauh diatas gunung"

Karena begitu seringnya sang elang menertawakan dan dengan egoisnya menghabiskan makanan sang kura-kura, maka seluruh hutan mulai menggunjingkan sikap sang elang tersebut. Para penghuni hutan tersebut merasa tidak suka dengan sikap seenaknya sang elang kepada sang kura-kura yang baik hati. Suatu hari seekor kodok memanggil kura-kura yang sedang berjalan dekat sungai. "Hai temanku sang kura-kura, berilah aku semangkok kacang polong, maka aku akan memberikan kata-kata bijak untukmu" seru sang kodok. Setelah menghabiskan semangkuk kacang polong dari sang kura-kura, sang kodok berkata lagi: "kura-kura, sahabatmu sang elang telah menyalahgunakan persahabatan dan kebaikan hatimu. Setiap kali sehabis bertamu di sarangmu, selalu saja dia mengejekmu dengan berkata " ha ha betapa bodohnya si kura-kura, aku dapat merasakan kenikmatan dari makan yang selalu dia berikan, namun tidak mungkin dia dapat merasakan nikmatnya makananku karena sarangku yang terletak jauh diatas gunung". Pada suatu hari nanti sang elang akan datang kembali dan akan meminta sekeranjang makanan darimu dan berjanji akan memberikan makanan kepadamu dan anak-anakmu"

Benarlah yang dikatakan oleh sang kodok, sang elang datang dengan membawa keranjang dan seperti biasanya sang elang menikmati makanan dari sang kura-kura. Sang elang berkata: "hai temanku kura-kura, ijinkan aku mengisi keranjangku dengan makanan darimu, maka akan kukirimkan kepada anak istriku dan istriku akan memberimu makanan buatannya untuk istri dan anakmu". Kemudian sang elang terbang dan kembali menertawakan sang kura-kura. Maka segeralah sang kura-kura masuk kedalam keranjang tersebut dan ditutupi dengan sayuran buah-buahan oleh istrinya, sehingga tidak terlihat. Ketika sang elang kembali, istri sang kura-kura mengatakan bahwa suaminya baru saja pergi dan memberikan keranjang penuh berisi makanan kepada sang elang. Sang elang segera bergegas terbang sambil membawa keranjang tersebut.

Kembali dia menertawakan kebodohan sang kura-kura. Namun kali ini sang kura-kura mendengar sendiri perkataannya. Sampailah mereka di sarang sang elang, dan sang elang segera memakan isi keranjang tersebut sampai habis. Betapa terkejutnya melihat sang kura-kura keluar dari keranjang tersebut. "Hai temanku sang elang, engkau sudah sering mengunjungi sarangku namun belum pernah sekalipun aku mengunjungi sarangmu. Kelihatannya akan sangat berbahagianya aku kalau dapat menikmati makananmu seperti engkau menikmati makananku." Betapa marahnya sang elang karena merasa tersindir. Dengan marah ia mematuk sang kura-kura.Namun berkat batok rumah sang kura-kura yang keras, kura-kura tidak dapat dipatuk oleh sang elang. Dengan sedihnya sang kura-kura berkata: "Aku telah melihat persahabatan macam apa yang engkau tawarkan padaku hai sang elang. Betapa kecewanya aku. Baiklah antarkan aku kembali ke sarangku dan persahabatan kita akan berakhir." Sang elangpun berkata :"Baiklah kalau itu maumu. Aku akan membawamu pulang" Namun timbul pikiran jahat pada diri sang elang. "Aku akan menjatuhkanmu dan memakan sisa-sisa dirimu" pikirnya lagi.

Begitulah, sang kura-kura memegang kaki sang elang yang terbang tinggi. "lepaskan kakiku" seru sang elang marah. Dengan sabar sang kura-kura menjawab: "Aku akan melepaskan kakimu apabila engkau sudah mengantarkanku pulang ke sarangku" dengan kesal sang elang pun terbang tinggi, menungkik dan menggoyang-goyangkan kakinya dengan harapan sang kura-kura akan jatuh. Namun tidak ada gunanya. Akhirnya dia menurunkan sang kura-kura di sarangnya, dan segera terbang tinggi dengan perasaan malu.

Ketika sang elang terbang, sang kura-kura berseru : " Hai temanku persahabatan membutuhkan rasa saling membagi satu dengan lainnya. Aku menghargaimu dan kaupun menghargaiku. Namun bagaimanapun, sejak engkau menjadikan persahabatan kita hanya permainan, mentertawakan keramahan keluargaku dan aku maka sebaiknya engkau tidak usah lagi datang kepadaku".

DONGENG


Kancil Si Pencuri Timun

Siang itu panas sekali. Matahari bersinar garang. Tapi hal itu tidak terlalu dirasakan oleh Kancil. Dia sedang tidur nyenyak di bawah sebatang pohon yang rindang. Tiba-tiba saja mimpi indahnya terputus. "Tolong! Tolong! " terdengar teriakan dan jeritan berulang-ulang. Lalu terdengar suara derap kaki binatang yang sedang berlari-lari. "Ada apa, sih?" kata Kancil. Matanya berkejap-kejap, terasa berat untuk dibuka karena masih mengantuk. Di kejauhan tampak segerombolan binatang berlari-lari menuju ke arahnya. "Kebakaran! Kebakaran! " teriak Kambing. " Ayo lari, Cil! Ada kebakaran di hutan! " Memang benar. Asap tebal membubung tinggi ke angkasa. Kancil ketakutan melihatnya. Dia langsung bangkit dan berlari mengikuti teman-temannya.

Kancil terus berlari. Wah, cepat juga larinya. Ya, walaupun Kancil bertubuh kecil, tapi dia dapat berlari cepat. Tanpa terasa, Kancil telah berlari jauh, meninggalkan teman-temannya. "Aduh, napasku habis rasanya," Kancil berhenti dengan napas terengah-engah, lalu duduk beristirahat. "Lho, di mana binatang-binatang lainnya?" Walaupun Kancil senang karena lolos dari bahaya, tiba-tiba ia merasa takut. "Wah, aku berada di mana sekarang? Sepertinya belum pernah ke sini." Kancil berjalan sambil mengamati daerah sekitarnya. "Waduh, aku tersesat. Sendirian lagi. Bagaimana ini?'7 Kancil semakin takut dan bingung. "Tuhan, tolonglah aku."

Kancil terus berjalan menjelajahi hutan yang belum pernah dilaluinya. Tanpa terasa, dia tiba di pinggir hutan. Ia melihat sebuah ladang milik Pak Tani. "Ladang sayur dan buah-buahan? Oh, syukurlah. Terima kasih, Tuhan," mata Kancil membelalak. Ladang itu penuh dengan sayur dan buah-buahan yang siap dipanen. Wow, asyik sekali! "Kebetulan nih, aku haus dan lapar sekali," kata Kancil sambil menelan air liurnya. "Tenggorokanku juga terasa kering. Dan perutku keroncongan minta diisi. Makan dulu, ah."

Dengan tanpa dosa, Kancil melahap sayur dan buahbuahan yang ada di ladang. Wah, kasihan Pak Tani. Dia pasti marah kalau melihat kejadian ini. Si Kancil nakal sekali, ya? "Hmm, sedap sekali," kata Kancil sambil mengusap-usap perutnya yang kekenyangan. "Andai setiap hari pesta seperti ini, pasti asyik." Setelah puas, Kancil merebahkan dirinya di bawah sebatang pohon yang rindang. Semilir angin yang bertiup, membuatnya mengantuk. "Oahem, aku jadi kepingin tidur lagi," kata Kancil sambil menguap. Akhirnya binatang yang nakal itu tertidur, melanjutkan tidur siangnya yang terganggu gara-gara kebakaran di hutan tadi. Wah, tidurnya begitu pulas, sampai terdengar suara dengkurannya. Krr... krr... krrr...

Ketika bangun pada keesokan harinya, Kancil merasa lapar lagi. "Wah, pesta berlanjut lagi, nih," kata Kancil pada dirinya sendiri. "Kali ini aku pilih-pilih dulu, ah. Siapa tahu ada buah timun kesukaanku." Maka Kancil berjalan-jalan mengitari ladang Pak Tani yang luas itu. "Wow, itu dia yang kucari! " seru Kancil gembira. "Hmm, timunnya kelihatan begitu segar. Besarbesar lagi! Wah, pasti sedap nih." Kancil langsung makan buah timun sampai kenyang. "Wow, sedap sekali sarapan timun," kata Kancil sambil tersenyum puas. Hari sudah agak siang. Lalu Kancil kembali ke bawah pohon rindang untuk beristirahat.

Pak Tani terkejut sekali ketika melihat ladangnya. "Wah, ladang timunku kok jadi berantakan-begini," kata Pak Tani geram. "Perbuatan siapa, ya? Pasti ada hama baru yang ganas. Atau mungkinkah ada bocah nakal atau binatang lapar yang mencuri timunku?" Ladang timun itu memang benar-benar berantakan. Banyak pohon timun yang rusak karena terinjak-injak. Dan banyak pula serpihan buah timun yang berserakan di tanah. 7 @ Hm, awas, ya, kalau sampai tertangkap! " omel Pak Tani sambil mengibas-ngibaskan sabitnya. "Panen timunku jadi berantakan." Maka seharian Pak Tani sibuk membenahi kembali ladangnya yang berantakan.

Dari tempat istirahatnya, Kancil terus memperhatikan Pak Tani itu. "Hmm, dia pasti yang bernama Pak Tani," kata Kancil pada dirinya sendiri. "Kumisnya boleh juga. Tebal,' hitam, dan melengkung ke atas. Lucu sekali. Hi... hi... hi.... Sebelumnya Kancil memang belum pernah bertemu dengan manusia. Tapi dia sering mendengar cerita tentang Pak Tani dari teman-temannya. "Aduh, Pak Tani kok lama ya," ujar Kancil. Ya, dia telah menunggu lama sekali. Siang itu Kancil ingin makan timun lagi. Rupanya dia ketagihan makan buah timun yang segar itu. Sore harinya, Pak Tani pulang sambil memanggul keranjang berisi timun di bahunya. Dia pulang sambil mengomel, karena hasil panennya jadi berkurang. Dan waktunya habis untuk menata kembali ladangnya yang berantakan. "Ah, akhirnya tiba juga waktu yang kutunggu-tunggu," Kancil bangkit dan berjalan ke ladang. Binatang yang nakal itu kembali berpesta makan timun Pak Tani.

Keesokan harinya, Pak Tani geram dan marah-marah melihat ladangnya berantakan lagi. "Benar-benar keterlaluan! " seru Pak Tani sambil mengepalkan tangannya. "Ternyata tanaman lainnya juga rusak dan dicuri." Pak Tani berlutut di tanah untuk mengetahui jejak si pencuri. "Hmm, pencurinya pasti binatang," kata Pak Tani. "Jejak kaki manusia tidak begini bentuknya." Pemilik ladang yang malang itu bertekad untuk menangkap si pencuri. "Aku harus membuat perangkap untuk menangkapnya! " Maka Pak Tani segera meninggalkan ladang. Setiba di rumahnya, dia membuat sebuah boneka yang menyerupai manusia. Lalu dia melumuri orang-orangan ladang itu dengan getah nangka yang lengket!

Pak Tani kembali lagi ke ladang. Orang-orangan itu dipasangnya di tengah ladang timun. Bentuknya persis seperti manusia yang sedang berjaga-jaga. Pakaiannya yang kedodoran berkibar-kibar tertiup angin. Sementara kepalanya memakai caping, seperti milik Pak Tani. "Wah, sepertinya Pak Tani tidak sendiri lagi," ucap Kancil, yang melihat dari kejauhan. "Ia datang bersama temannya. Tapi mengapa temannya diam saja, dan Pak Tani meninggalkannya sendirian di tengah ladang?" Lama sekali Kancil menunggu kepergian teman Pak Tani. Akhirnya dia tak tahan. "Ah, lebih baik aku ke sana," kata Kancil memutuskan. "Sekalian minta maaf karena telah mencuri timun Pak Tani. Siapa tahu aku malah diberinya timun gratis."

"Maafkan saya, Pak," sesal Kancil di depan orangorangan ladang itu. "Sayalah yang telah mencuri timun Pak Tani. Perut saya lapar sekali. Bapak tidak marah, kan?" Tentu saj,a orang-orangan ladang itu tidak menjawab. Berkali-kali Kancil meminta maaf. Tapi orang-orangan itu tetap diam. Wajahnya tersenyum, tampak seperti mengejek Kancil. "Huh, sombong sekali!" seru Kancil marah. "Aku minta maaf kok diam saja. Malah tersenyum mengejek. Memangnya lucu apa?" gerutunya. Akhirnya Kancil tak tahan lagi. Ditinjunya orangorangan ladang itu dengan tangan kanan. Buuuk! Lho, kok tangannya tidak bisa ditarik? Ditinjunya lagi dengan tangan kiri. Buuuk! Wah, kini kedua tangannya melekat erat di tubuh boneka itu. " Lepaskan tanganku! " teriak Kancil j engkel. " Kalau tidak, kutendang kau! " Buuuk! Kini kaki si Kancil malah melekat juga di tubuh orang-orangan itu. "Aduh, bagaimana ini?"

Sore harinya, Pak Tani kembali ke ladang. "Nah, ini dia pencurinya! " Pak Tani senang melihat jebakannya berhasil. "Rupanya kau yang telah merusak ladang dan mencuri timunku." Pak Tani tertawa ketika melepaskan Kancil. "Katanya kancil binatang yang cerdik," ejek Pak Tani. "Tapi kok tertipu oleh orang-orangan ladang. Ha... ha... ha.... " Kancil pasrah saja ketika dibawa pulang ke rumah Pak Tani. Dia dikurung di dalam kandang ayam. Tapi Kancil terkejut ketika Pak Tani menyuruh istrinya menyiapkan bumbu sate. " Aku harus segera keluar malam ini j uga I " tekad Kancil. Kalau tidak, tamatlah riwayatku. " Malam harinya, ketika seisi rumah sudah tidur, Kancil memanggil-manggil Anjing, si penjaga rumah. "Ssst... Anjing, kemarilah," bisik Kancil. "Perkenalkan, aku Kancil. Binatang piaraan baru Pak Tani. Tahukah kau? Besok aku akan diajak Pak Tani menghadiri pesta di rumah Pak Lurah. Asyik, ya?"

Anjing terkejut mendengarnya. "Apa? Aku tak percaya! Aku yang sudah lama ikut Pak Tani saja tidak pernah diajak pergi. Eh, malah kau yang diajak." Kancil tersenyum penuh arti. "Yah, terserah kalau kau tidak percaya. Lihat saja besok! Aku tidak bohong! " Rupanya Anjing terpengaruh oleh kata-kata si Kancil. Dia meminta agar Kancil membujuk Pak Tani untuk mengajakn-ya pergi ke pesta. "Oke, aku akan berusaha membujuk Pak Tani," janji Kancil. "Tapi malam ini kau harus menemaniku tidur di kandang ayam. Bagaimana?" Anjing setuju dengan tawaran Kancil. Dia segera membuka gerendel pintu kandang, dan masuk. Dengan sigap, Kancil cepat-cepat keluar dari kandang. "Terima kasih," kata Kancil sambil menutup kembali gerendel pintu. "Maaf Iho, aku terpaksa berbohong. Titip salam ya, buat Pak Tani. Dan tolong sampaikan maafku padanya." Kancil segera berlari meninggalkan rumah Pak Tani. Anjing yang malang itu baru menyadari kejadian sebenarnya ketika Kancil sudah menghilang.

Kancil yang cerdik, temyata mudah diperdaya oleh Pak Tani. Itulah sebabnya kita tidak boleh takabur.