Atheis
Cerpen: M. Dawam Rahardjo
KAKAK kami
Suparman kini tinggal di Jakarta
menjelang masa pensiun. Tapi ia tidak terikat. Karena ia mengelola sebuah
perusahaan konsultan sendiri, dengan karyawan sekitar 50 orang. Ia adalah
seorang arsitek lulusan ITB. Setelah lulus, ia melamar sebagai arsitek di
sebuah perusahaan. Setelah mendapatkan pengalaman, ia mendirikan perusahaan
sendiri bersama beberapa orang kawannya. Usahanya ini boleh dikatakan maju,
berkat kegiatan pembangunan di Ibu Kota.
Kakak kami itu
ialah saudara tertua dalam keluarga kami yang tinggal di sebuah desa bernama
Jatiwarno di Wonogiri. Sekitar 30 kilometer dari Kota Solo. Daerah tempat
tinggal kami itu dikenal kering. Dulu sering kali menjadi berita di koran
karena kelaparan. Di zaman kolonial pernah terjadi busung lapar. Kini Wonogiri
tidak lagi kering seperti dulu karena di situ dibangun waduk Gajah Mungkur.
Sekarang sudah ada ladang-ladang ubi kayu dan jagung selain sawah padi. Waduk
ini juga menjadi pusat pariwisata yang dikunjungi terutama oleh orang-orang
Solo. Keluarga kami, keluarga Parto Sentono lebih populer dipanggil Kiai Parto
adalah sebuah keluarga yang religius. Ayah kami itu adalah seorang petani yang
juga berperan sebagai ulama lokal karena ia adalah santri lulusan Mamba'ul Ulum
dan tinggal di pesantren Jamsaren. Jadi ia pernah berguru kepada KH Abu Amar,
Ulama Solo yang masyhur itu. Itulah sebabnya Kiai Parto mengirim kami,
anak-anaknya, ke pesantren sebagai lembaga pendidikan.
Mas Parman
sebagai anak tertua dikirim ke Gontor Ponorogo yang jaraknya tidak jauh dari
desa kami. Kakak saya yang kedua Muhammad Ikhsan dipondokkan ke Pesantren
Pabelan di bawah pimpinan Kiai Haji Hamam Ja'far. Saya sendiri sebagai anak
ketiga cukup bersekolah di Madrasah Al-Islam, Honggowongso, Solo. Jadi saya
punya dua orang adik. Yang pertama, dikirim ke Tebu Ireng, sedangkan adik saya
yang paling bontot disuruh belajar ke madrasah Mu'alimat Muhammadiyah,
Yogyakarta.
Walaupun
semuanya berlatar belakang pendidikan pesantren, kami semua mempunyai profesi
yang berbeda-beda, misalnya Mas Parman menjadi seorang arsitek, sedangkan saya
sendiri menjadi petani jagung dan ubi kayu meneruskan pekerjaan bapak. Karena
itulah, saya adalah anak yang paling dekat dengan keluarga dan menyelenggarakan
pertemuan halalbihalal setiap tahun dengan keluarga.
Bapak merasa
sangat bangga anaknya bisa masuk ke pondok modern Gontor. Mas Parman sendiri
juga merasa mantap berguru dengan Kiai Zarkasi dan Kiai Sahal. Di masa sekolah
dasar, kami semua dididik langsung oleh bapak kami. Mas Parman ternyata
berhasil menjadi seorang santri yang cerdas. Bapak sangat berharap kelak Mas
Parman menjadi seorang ulama modern. Bapak memang tidak mengikuti perkembangan
anaknya itu sehingga ia merasa terkejut ketika pada suatu hari ia berkunjung ke
Gontor, anaknya itu ternyata sudah tidak lagi bersekolah di situ. Namun
sebentar kemudian, ia mendengar di mana anaknya berada. Ternyata Mas Parman
yang pandai matematika itu ikut ujian SMP negeri dan lulus dengan nilai yang
sangat baik. Ia kemudian melamar untuk bersekolah di Solo dan diterima di SMA 2
atau SMA B yang terletak di Banjar Sari. Sekolahnya itu berdekatan dengan SMA 1
jurusan sastra budaya. Sehingga ia banyak bergaul dengan pelajar-pelajar
sastra. Walaupun belajar ilmu eksakta, Mas Parman ternyata punya bakat seni. Ia
bisa melukis dan membuat puisi. Ia ikut di klub sastra remaja yaitu sastra
remaja Harian Nasional di Yogya. Bapak tidak bertanya banyak kepada anak
sulungnya itu. Walaupun ia merasa sangat kecewa dan agak marah karena Mas
Parman telah mengambil keputusan besar tanpa berkonsultasi dengan Bapak dulu.
Saya mewakili keluarga menanyakan perihal keputusannya itu kepada Mas Parman.
"Mas, kenapa tidak minta izin bapak dulu ketika Mas keluar dari
Gontor?," tanyaku pada suatu hari.
"Kalau aku
bilang dulu pada bapak, pasti tidak dikasih izin," jawabnya.
"Kenapa
pula Mas berani mengambil keputusan besar itu?" tanyaku lagi. "Aku
ternyata tidak betah tinggal di pondok. Aku merasa pesantren ini adalah sebuah
masyarakat buatan. Kami hidup menyendiri, dilarang bergaul dengan penduduk
desa. Kami di pondok menganggap diri sebagai keluarga ndoro," jawabnya
lagi.
"Itu kan
karena kepentingan para santri sendiri supaya tidak terkontaminasi oleh
pengaruh luar," jelas saya.
"Tapi hidup
kan menjadi artifisial, santri hanya diajar sesuatu yang baik tapi tidak
mengetahui dunia nyata yang tidak terlalu bersih. Malah banyak kotornya."
"Kalau hanya itu alasannya, mengapa Mas tetap mengambil keputusan?" tanya saya.
"Terus terang saja, aku sendiri jenuh dan bosan hidup di pondok. Aku memahami jika sebagian santri melakukan homo bahkan mencuri-curi bergaul dengan perempuan di luar pondok."
"Nah, itulah akibatnya kalau para santri tidak disiplin."
"Kalau hanya itu alasannya, mengapa Mas tetap mengambil keputusan?" tanya saya.
"Terus terang saja, aku sendiri jenuh dan bosan hidup di pondok. Aku memahami jika sebagian santri melakukan homo bahkan mencuri-curi bergaul dengan perempuan di luar pondok."
"Nah, itulah akibatnya kalau para santri tidak disiplin."
"Pokoknya
aku bosan, yang lebih mendasar lagi aku tidak bisa menerima pelajaran-pelajaran
agama. Kupikir pendidikan semacam itu tidak berguna, karena tidak membekali
santri untuk bisa hidup dalam realitas yang sering keras itu di luar dunia
pesantren. Jadi apa gunanya aku bersusah payah mencapai kelulusan. Itulah maka
aku mengambil keputusan untuk pindah sekolah."
"Mas Ikhsan
ternyata senang nyantri di Pabelan," ujar saya.
"O...
Pabelan itu beda dengan Gontor, Kiainya juga alumni Gontor, tapi ia bisa
berbeda dengan Gontor. Santri Pabelan bebas bergaul bahkan diharuskan. Kiai
Hamam bisa menerima saran dari LP3ES untuk menyelenggarakan program lingkungan
hidup. Pesantren bahkan menyediakan air bersih yang diolah dari kali Pabelan
untuk penduduk desa. Kiai Hamam juga membuat pemandian umum desa. Sehingga
santri-santrinya bisa bergaul dengan penduduk desa setiap pagi sore sambil
mandi bersama."
Mas Parman
kemudian melanjutkan perubahan di dalam hidupnya. "Har, aku ingin
memberitahukan padamu, perubahan pola hidupku di Solo. Aku sekarang sudah tidak
menjalankan salat, juga puasa Ramadan," katanya jujur.
"Mas,
apakah ini tidak terlalu jauh? Ibu bapak pasti akan marah besar sama Mas,"
jawab saya.
"Ya jangan dilaporkan ke ibu bapak, tapi ceritakan saja apa adanya kepada Mas Ikhsan, barangkali ia bisa menerima dengan kepala dingin." Saya kemudian berpisah dengan Mas Parman dan melaksanakan wasiatnya. Tidak henti-hentinya saya berpikir dan merenung, sehingga memberatkan pikiran saya. Sebagai adik kandung, saya menyayangkan keputusan dan langkah radikal Mas Parman. Tapi aku tidak bisa berbuat apa-apa sehingga hanya bisa menerima dengan sedih yang menjadi unek-unek terus-menerus. Sebab, saya pun juga ingin jawaban terhadap masalah-masalah yang ditimbulkan keputusan kakak saya itu. Saya khawatir sikapnya itu akan memengaruhi kakak dan adikku yang lainnya sehingga unek-unek itu saya sampaikan kepada Mas Ikhsan. Ia juga tampak terkejut tapi hanya terdiam saja tanpa reaksi. Karena itu aku minta kepada Mas Ikhsan untuk bertemu sendiri dengan Mas Parman.
"Ya jangan dilaporkan ke ibu bapak, tapi ceritakan saja apa adanya kepada Mas Ikhsan, barangkali ia bisa menerima dengan kepala dingin." Saya kemudian berpisah dengan Mas Parman dan melaksanakan wasiatnya. Tidak henti-hentinya saya berpikir dan merenung, sehingga memberatkan pikiran saya. Sebagai adik kandung, saya menyayangkan keputusan dan langkah radikal Mas Parman. Tapi aku tidak bisa berbuat apa-apa sehingga hanya bisa menerima dengan sedih yang menjadi unek-unek terus-menerus. Sebab, saya pun juga ingin jawaban terhadap masalah-masalah yang ditimbulkan keputusan kakak saya itu. Saya khawatir sikapnya itu akan memengaruhi kakak dan adikku yang lainnya sehingga unek-unek itu saya sampaikan kepada Mas Ikhsan. Ia juga tampak terkejut tapi hanya terdiam saja tanpa reaksi. Karena itu aku minta kepada Mas Ikhsan untuk bertemu sendiri dengan Mas Parman.
Akhirnya, pada
suatu hari, Mas Ikhsan menyempatkan diri untuk bertemu langsung dengan Mas
Parman di Solo. Ia tinggal di daerah Manahan. Berikut ini adalah laporan Mas
Ikhsan kepadaku dari hasil pertemuannya dengan Mas Parman. "Aku diajak Mas
Parman pada suatu malam di suatu warung hik yang masyhur dengan jualan wedang
ronde dan makanan tradisional Surakarta.
Mas Parman memang romantis. Dia tidak ragu mengajakku menikmati suasana Solo di
waktu malam yang dirasakan rakyat jelata. Terkesan olehku bahwa ia memang
merakyat hidupnya. Karena setiap kali kami berbincang-bincang, selalu saja ada
orang yang menyapa. Ada
juga para pengemis dan gelandangan. Di warung hik itulah aku mencoba secara
tenang menanyakan banyak hal kepada Mas Parman.
"Mas, aku sudah mendengar semua cerita mengenai dirimu dari adik kita, Haryono, terus terang saja aku terkejut. Timbul seribu satu pertanyaan dalam pikiranku, aku masih seorang santri yang baik dan terus bercita-cita menjadi ulama pemikir modern. Sebagai adik, aku tidak bisa memahami sikapmu. Bahkan aku tidak percaya dengan cerita Haryono, aku juga sudah tanya kepada Haryono bagaimana pandangannya. Tapi ia tidak banyak memberi penjelasan sehingga aku harus langsung bertemu denganmu. Mohon jangan tersinggung dengan pertanyaan-pertanyaan dan komentarku. Aku bahkan ingin belajar kepada Mas, yang memiliki sebuah pengalaman dramatis."
"Mas, aku sudah mendengar semua cerita mengenai dirimu dari adik kita, Haryono, terus terang saja aku terkejut. Timbul seribu satu pertanyaan dalam pikiranku, aku masih seorang santri yang baik dan terus bercita-cita menjadi ulama pemikir modern. Sebagai adik, aku tidak bisa memahami sikapmu. Bahkan aku tidak percaya dengan cerita Haryono, aku juga sudah tanya kepada Haryono bagaimana pandangannya. Tapi ia tidak banyak memberi penjelasan sehingga aku harus langsung bertemu denganmu. Mohon jangan tersinggung dengan pertanyaan-pertanyaan dan komentarku. Aku bahkan ingin belajar kepada Mas, yang memiliki sebuah pengalaman dramatis."
"O... boleh
saja, jadi aku sekarang sudah tidak menjalankan kewajibanku sebagai seorang
muslim."
"Kalau begitu, Mas telah murtad?" tanyaku.
"Kalau begitu, Mas telah murtad?" tanyaku.
"Ya,
sebelum hukuman murtad dijatuhkan kepadaku, aku lebih baik keluar saja dulu
dari Islam. Sekarang siapa pun juga tidak berhak menghakimiku."
"O...
begitu, aku pun tidak akan menghakimimu. Cuma aku ingin bertanya apakah Mas
telah meninggalkan seluruh akidah Islam?" tanyaku ingin tahu.
"Ya, aku
sekarang seorang atheis, aku sudah tidak percaya kepada Tuhan."
"Lalu
status Mas sekarang sebagai apa?" tanyaku.
"Aku sudah
menjadi humanis. Aku bercita-cita ingin menjadi pemikir bebas."
"Untuk
menjadi orang seperti itu kan tidak perlu meninggalkan akidah. Islam memberi
kebebasan."
"Ya aku
tahu, aku hanya ingin mengatakan bahwa selama di Gontor aku tidak pernah
memperoleh penjelasan yang memuaskan mengenai Tuhan. Dan mengapa orang harus
percaya kepada Tuhan. Aku ingin bebas dari belenggu akal dan aku harus bisa
mendasarkan perilakuku berdasarkan rasionalitas. Tidak dibelenggu iman dan
syariat. Sekarang ini aku merasakan diriku menjadi orang bebas, tanpa belenggu.
Ketika menjadi orang Islam aku merasa terjatuh ke dalam belenggu. Sekarang ini
aku merasa mengalami pencerahan."
"Mas kan tahu bahwa Islam itu mengajarkan perbuatan baik berdasarkan iman. Jadi manusia memerlukan Tuhan untuk bisa berbuat baik."
"Mas kan tahu bahwa Islam itu mengajarkan perbuatan baik berdasarkan iman. Jadi manusia memerlukan Tuhan untuk bisa berbuat baik."
"Inilah
yang saya tidak setujui dalam Islam. Seperti kamu tahu sendiri, perbuatan baik
itu tidak diakui Tuhan jika tidak didasarkan kepada iman. Mengapa harus begitu.
Buddha Gautama mengajarkan perbuatan-perbuatan baik tanpa mensyaratkan iman
kepada-Nya. Demikian pula Konghucu. Aku suka dengan dua agama yang kita sebut
sebagai agama bumi itu. Aku ingin menjadi orang baik tanpa iman. Kalau
mendengar keteranganmu itu terkesan olehku bahwa Tuhan itu adalah ciptaan
manusia sendiri, bukannya sebaliknya."
"Astaghfirullahal'adzim."
"Dalam kenyataannya, agama itu hanyalah candu yang membius dan membuat lupa terhadap kesengsaraan dan penindasan yang menimpa mereka."
"Astaghfirullahal'adzim."
"Dalam kenyataannya, agama itu hanyalah candu yang membius dan membuat lupa terhadap kesengsaraan dan penindasan yang menimpa mereka."
Berlindung aku
dari bisikan semacam itu."
"Sorry ya,
jangan anggap aku sesat. Semuanya itu sudah kupikirkan dan kurenungkan
dalam-dalam. Pokoknya aku ingin bebas menjadi humanis."
"Tapi aku
yakin bahwa Islam akan membawaku ke sana, tapi sampean punya pendapat yang lain
dan aku ingin belajar darimu sebagai seorang kakak tertua."
"Kamu tidak
perlu jawaban verbal dariku. Lihat saja perbuatanku. Bukankah agamamu
mengajarkan bahwa Tuhan itu akan bisa ditemui dengan perbuatan baik di dunia
ini."
"Kalau gitu, Mas masih percaya kepada Tuhan."
"Kalau gitu, Mas masih percaya kepada Tuhan."
"Tidak! Aku
tidak bisa percaya pada adanya Tuhan. Aku hanya ingin berbuat baik kepada
sesama manusia berdasarkan alasan-alasan yang rasional saja."
"Wah,
menurutku manusia yang percaya kepada Tuhan itu tentu akan terdorong untuk
berbuat baik, karena itu apa salahnya kita percaya akan adanya Tuhan."
"Ya
terserah. Cuma saya tidak mau percaya kepada Tuhan yang diciptakan manusia.
Tuhan begini, sama saja dengan dewa-dewa Hindu maupun Yunani."
Begitulah Mas
Ikhsan menceritakan kembali dialognya. "Lalu bagaimana tanggapan dan
sikapmu?"
"Lakumdinukum waliyadin, biar dia percaya apa yang ia percayai dan kita percaya apa yang kita percayai."
"Lakumdinukum waliyadin, biar dia percaya apa yang ia percayai dan kita percaya apa yang kita percayai."
"Lalu
bagaimana pandanganmu mengenai kakak kita itu?"
"Aku tidak
menganggap dia orang sesat. Ia hanya memilih suatu jalan hidup. Dalam hatiku,
aku percaya bahwa Mas Suparman itu sebetulnya percaya kepada Tuhan. Cuma dia
tidak mau merumuskan apa Tuhan itu. Bukankah agama kita mengajarkan bahwa apa
pun yang kita pikirkan mengenai Tuhan, itu bukan Tuhan. Jadi Tuhan itu diimani
saja, tidak perlu dirasionalkan. Walaupun teori-teori mengenai Tuhan boleh saja
dikemukakan. Biar dia tidak percaya kepada Tuhan, asalkan ia berbuat baik dan
melaksanakan ajaran Islam menurut ukuran-ukuran kita. Tidak perlu kita
mensyaratkan iman kepadanya."
Mas Suparman yang kini sudah menjelang masa pensiun itu sekitar enam puluh lima tahunan nampaknya, paling tidak menurut kesan saya, telah mencapai apa yang ia cita-citakan berdasarkan kebebasan yang ia yakini. Saya berpendapat bahwa pada dasarnya, kakak kami itu masih seorang muslim yang baik. Hidupnya sesuai dengan sepuluh wasiat Tuhan yang didendangkan Iin dan Jaka Bimbo.
Pertama aku
masih percaya bahwa ia masih punya iman dalam lubuk hatinya yang paling dalam.
Seperti kata Jalaludin Rumi dan Al Halaj, ia pada akhirnya akan memperoleh
pengertian Tuhan yang sebetulnya melekat pada dirinya sendiri jika ia masih
tetap bisa menjalankan hidup yang benar berarti Allah masih membimbingnya.
Cuma, dia tidak tahu dan tidak mengaku. Malah saya berpendapat bahwa sikap Mas
Parman itulah yang mencerminkan Tauhid yang semurni-murninya. Wallahu'alam.
Kedua, ia berbuat baik kepada ibu bapaknya, ia tidak pernah mau menyakiti kedua
orang tuanya. Harus kami akui bahwa di antara kami, Mas Parmanlah yang paling
banyak membantu orang tua kami. Ketiga, ia bisa menjaga harta anak-anak yatim,
yaitu adik-adiknya, ia tidak mau mengambil bagian warisannya. Ia serahkan
semuanya kepada kita. Mas Parman juga membuat yayasan yang menampung anak-anak
yatim. Tutur katanya tidak pernah menyakiti orang lain, ia selalu menjaga diri
dari perbuatan-perbuatan tercela.***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar