Batam
Pos
Minggu,
03 Februari 2008
Tasbih dari
Gunung Slamet
Cerpen: Sigit Emwe
Mbah Muslich masih memegangi
jenggotnya yang telah beruban, tangannya pelan membelainya. Perlahan ia
memperbaiki posisi pecinya yang agak kurang pas dirasaknnya. Kembali matanya
tertuju pada koran pagi ditangannya. Dalam halaman yang dibacanya terdapat
berita tentang kematian seorang istri kyai secara khusnul khotimah yaitu saat
mengerjakan shalat. Mata Mbah Muslich jauh menerawang ke atas atap rumahnya
yang buat dari jerami kering. Dalam-dalam ia hisap asap tembakau yang ia
nyalakan berapa menit yang lalu. Dimejanya yang terbuat dari bambu tampak
sebuah asbak terbuat dari tanah liat penuh dengan putung-putung rokok yang
dihisapnya. Mbah Muslich tampak begitu gelisah, sekali-kali batuknya membuat
tubuhnya terguncang dari posisi duduknya.
***
Walaupun menyandang gelar Haji dan memiliki kelebihan indera keenam yaitu mengetahui apa yang tidak diketahui orang lain atau orang biasa menyebutnya ngarti sadurunge weruh, Mbah Muslich tetap lah Mbah Muslich yang dulu. Hidup dalam kesederhanaan dan kesendirian. Mbahi Muslich hidup seorang diri. Sebenarnya keponakannya pernah tinggal bersamanya sejak kecil, namun nasib berkata lain keponakannya yang berkerja sebagai pengrajin tasbih mati secara tragis dengan gantung diri di pohon manggga di depan rumah Mbah Muslich yang berada tepat di bawah kaki Gunung Slamet. Sejak kematian keponakannya Mbah Muslic memilih hidup membujang, apalagi anak, istripun ia tak punya. Meskipun tanahnya amatlah luas, Mbah Musich enggan untuk mencari pendamping hidup. Sebenarnya Mbah Muslich bukan lelaki yang membenci perempuan, namun ia merasa bahwa dirinya takkan mampu membahagiakan perempuan.
***
Walaupun menyandang gelar Haji dan memiliki kelebihan indera keenam yaitu mengetahui apa yang tidak diketahui orang lain atau orang biasa menyebutnya ngarti sadurunge weruh, Mbah Muslich tetap lah Mbah Muslich yang dulu. Hidup dalam kesederhanaan dan kesendirian. Mbahi Muslich hidup seorang diri. Sebenarnya keponakannya pernah tinggal bersamanya sejak kecil, namun nasib berkata lain keponakannya yang berkerja sebagai pengrajin tasbih mati secara tragis dengan gantung diri di pohon manggga di depan rumah Mbah Muslich yang berada tepat di bawah kaki Gunung Slamet. Sejak kematian keponakannya Mbah Muslic memilih hidup membujang, apalagi anak, istripun ia tak punya. Meskipun tanahnya amatlah luas, Mbah Musich enggan untuk mencari pendamping hidup. Sebenarnya Mbah Muslich bukan lelaki yang membenci perempuan, namun ia merasa bahwa dirinya takkan mampu membahagiakan perempuan.
Dulu ibu Mbah Muslich adalah
seorang janda kaya, ia ditinggal mati suami tercinta dalam perang kemerdekaan.
Waktu itu bapak dari Mbah Muslich adalah seorang pejuang yang gigih
memperjuangkan kemerdekaan. Pada suatu malam ia bersama pasukannya tengah
melakukan patroli untuk menjaga keamanan desanya. Tiba-tiba sebuah bom meledak
tepat didepannya. Tubuhnya terpental kaki dan tangannya terpisah dari tubuhnya.
Sejak itulah Muslich kecil menjadi anak yatim.
Kehidupan menjadi anak yatim
menempa Muslich kecil menjadi orang yang tahan banting. Hidup dalam kasih
sayang ibunya membuat Muslich kecil begitu menghargai perempuan. Dari figur
ibunya lah Muslich memiliki pandangan tersendiri terhadap perempuan.
Seekor kucing belang yang turun dari atas meja membuyarkan lamunan Mbah Muslich. Sesaat Mbah Muslich menghisap dalam-dalam rokok terakhir sebelum membuangnya ke dalam asbak. Mbah Muslich beranjak dari tempat duduknya, Ia berjalan menuju sebuah sudut ruangan dan mengambil Al-Quran dari dalam lemari.
Seekor kucing belang yang turun dari atas meja membuyarkan lamunan Mbah Muslich. Sesaat Mbah Muslich menghisap dalam-dalam rokok terakhir sebelum membuangnya ke dalam asbak. Mbah Muslich beranjak dari tempat duduknya, Ia berjalan menuju sebuah sudut ruangan dan mengambil Al-Quran dari dalam lemari.
Tiba-tiba terdengar orang
mengucapkan salam dan beberapa saat kemudian terdengar suara orang mengetuk
pintu rumah Mbah Muslich. Suara itu semakin keras, seperti begitu tergesa-gesa.
Mbah Muslich memasukan kembali Al-Quran ke dalam lemari dan meletaknnya di atas
tempatnya. Mbah Muslich kemudian berjalan menuju ke arah pintu untuk membuka dan
mengetahui siapa yang datang.
Seorang kakek tua berdiri di
depan Mbah Muslich. Pakaiannya serba putih, dengan sorban putih dikepalanya.
Ternyata Mbah Ronggo yang datang bertamu kerumah Mbah Muslich. Tampak wajah tua
yang berkeriput Mbah Ronggo begitu pucat dan pasi, ada kecemasan tergambar dari
raut wajahnya.
“Ada gerangan apa saudaraku
berkenan berkunju ke gubugku ini” tanya Mbah Muslich sambil mempersilahkan Mbah
Ronggo masuk ke dalam rumah dan mempersilahkan Mbah Ronggo untuk duduk.
“Maafkan aku, jika kedatangan
jasad ini mengganggu kekhusuanmu” jawab Mbah Ronggo.
“Ada gerangan apa yang membuat saudaraku, berkenan hadir dalam wujud wadag ini, sepertinya ada masalah teramat penting engkau bawa kepadaku” Mbah Muslich menerka maksud kedatangan Mbah Ronggo.
“Ada gerangan apa yang membuat saudaraku, berkenan hadir dalam wujud wadag ini, sepertinya ada masalah teramat penting engkau bawa kepadaku” Mbah Muslich menerka maksud kedatangan Mbah Ronggo.
“Tentu saudaraku lebih tahu, dan
bisa meraba masalah apa yang aku bawa untukmu” jawab Mbah Ronggo singkat.
“Jika masalah itu, pastilah
saudaraku lebih mumpuni dalam menyelesaikannya, namun marilah kita bahas
masalah itu dengan lebih bijak dan lebih arif” ucapan Mbah Muslich terdengar
datar.
“Kehidupan ini semakin tua, kita
semakin di makan usia, namun banyak yang belum bisa kita lakukan untuk menjaga
keseimbangan alam ini” kata-kata dari Mbah Ronggo keluar penuh makna.
“Itulah yang meski kita lakukan,
cobalah saudaraku, bawa tasbih ini dan berikan kepada putramu, biarkan ia
menyelesaiakan persoalannya, Inssa Allah masalahnya akan terselesaikan” Mbah
Muslich mengambil tasbih dari lehernya dan memberikan kepada Mbah Ronggo.
Tasbih berwarna kuning keemasan.
Dengan tulisan Allah pada tiap butirannya. Kini telah ada di tangan Mbah
Ronggo. Tanpa waktu yang lama Mbah Ronggo memohon pamit kepada Mbah Muslich.
Di pesantrennya Gus Maktum
tampak begitu gelisah, ia tengah menunggu kedatangan bapaknya. Berapa saat
kemudian terdengar salam dari luar pesantren. Yang datang ternyata Mbah Ronggo.
Tanpa berpanjang kata Mbah Ronggo memberikan tasbih pemberian dari Mbah Muslich
kepada putranya Gus Maktum.
Tampak wajah berseri-seri
terpancar dari wajah Gus Maktum. Berulang-ulang diciumnya tangan Mbah Ronggo.
Ekspresinya seperti anak kecil yang baru saja mendapatkan mainan dari bapaknya.
“Anakku, sekarang temuilah
istrimu dan berikan apa apa yang menjadi keinginannya” perintah Mbah Ronggo
kepada Gus Maktum.
Tanpa berpikir lama Gus Maktum
menuju kamar di mana istrinya tengah duduk termenung. Tampak mata yang sembab
dari sepasang mata yang indah milik istrinya. Seolah istrinya berusaha menahan
kesedihan yang ia sembunyikan.
“Istriku, ini tasbich
bertuliskan lafal Allah dari gunung Slamet seperti persyaratkan yang kau ajukan
kepadaku agar aku bisa menikah lagi” Gus Maktum menunjukan tasbih itu kepada
istrinya.
Dengan tangan sedikit gemetar
istri Gus Maktum menerima tasbih tersebut. Dipandangnya tasbich itu dengan mata
berkaca-kaca. Pikirannya melayang pada seorang pemuda dusun di bawah kaki
Gunung Slamet yang berprofesi sebagai pengrajin tasbih. Betapa perasaan
bersalah muncul dalam hatinya ketika tanpa alasan yang jelas ia harus
meninggalkan dusunnya dan pemuda tercintanya itu untuk menikah dengan Gus
Maktum seorang putera dari Kyai Terkenal di Jawa Timur.
Pesta perkawinan Gus Maktum
dengan istri keduanya digelar cukup meriah di pondok pesantren Gus Maktum, ada
bend ternama yang dulu menjadi santri di pesantren itu di undang meramaikan
pesta pernikahan itu. Selain itu kelompok hadroh dan para pemusik kasidah pun
tak mau ketinggalan menyubangkan karyanya sbagai wujud ketakdiman kepada
seorang guru.
Malam semakin larut, Gus Maktum
tampak begitu lelah menyambut tamu-tamu yang datang dari kota-kota dan
pesantren-pesantren lainnya. Begitu juga kelelahan tampak menyelimuti istri
kedua Gus Maktum yang berdandan layaknya seorang artis. Hanya saja menggunakan
Jilbab, sehingga kemenorannya berdandan sedikit tertutupi. Gus Maktum da istri
keduannya hendak beristirahat, mereka menarik diri dari keramaian pesta dan
bergegas menuju ke dalam kamar.
Tiba di dalam kamar, tiba-tiba
istri kedua Gus Maktum menjerit histeris, tubuhnya tampak lunglai. Dihadapnnya
terlihat sosok wanita dengan mengenakan pakaian shalat tampak bersimbah darah.
Gus Maktum melihat istri pertamanya telah tak bernyawa dengan goresan di urat
nadi tangannya. Dalam genggaman tangannya tampak tasbih berlafalkan nama Allah
telah berwarna merah. Gus Maktum tak bisa berkata apa-apa, tubuhnya lemah.
Kedua kakinya terasa terpaku di atas bumi. Begitu kaku. ***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar